AKU INGIN SEPERTI BUNGA
Bunga, untuk apa kau bersemi, kalau pada akhirnya kau akan layu? Untuk apa kau hidup, kalau hanya untuk sesaat? Kau hanya memiliki dua pilihan: mati karena layu ataukah mati karena dipotong oleh manusia, manakah yang akan kau pilih? Kau sangat rapuh, tapi kenapa kau berusaha untuk tampak kuat? Apa yang membuatmu begitu tegar dalam menghadapi badai kehidupan yang menimpamu? Tolong jawab pertanyaanku, wahai Bunga? Kau tidak pernah mengeluh saat panasnya matahari menyengat dirimu, saat derasnya hujan menyentuh kelopakmu yang lemah, saat dinginnya salju membekukan mahkotamu yang indah, dan membuatmu berguguran ke tanah yang keras dan berdebu. Saat salju turun, dengan kekuatannya yang dashyat dia menyembunyikan indahnya warnamu kala bersemi. Tapi kenapa? Kenapa kau sama sekali tidak mengeluh dengan kondisi yang seperti itu? Sementara aku, hampir tiap hari aku mengeluh atas kehidupan yang harus kujalani, meski seharusnya aku mensyukurinya. Kenapa kau hanya diam? Tidakkah kau mendengar diriku yang kebingungan? Sesungguhnya untuk apa aku hidup kalau aku harus menderita seperti ini? Untuk apa aku dilahirkan di dunia, kalau kelak aku juga harus meninggalkannya lagi? Kenapa ada kehidupan? Dan kenapa juga harus kematian? Kenapa kita tidak bisa abadi? Tuhan, apa arti dari semua ini? Semua yang kupandang indah tidak akan ada lagi, yang ada adalah kesepian dan kesedihan, semua keramaian dunia yang semarak akan warnamu yang indah, akan lenyap tak berbekas, yang tersisa hanyalah puing-puing kehancuran yang menghias bumi, debu-debu yang bertebaran tertiup angin yang tertawa melihat kehidupan musnah. Bunga, itukah yang kau ingin lihat? Apa kau pernah menangis saat daunmu berguguran? Ataukah saat satu per satu mahkotamu diterbangkan angin dan pada akhirnya jatuh ke tanah.
Itulah jeritan hatiku pada bunga yang kutulis di buku harianku. Namun, tak pernah dapat kujawab pertanyaanku sendiri. Setiap kali kupandang rumpun mawar putih di bawah jendela kamarku, aku terdiam, berpikir, kenapa dia begitu indah, kenapa dia selalu tegar. Seolah kehidupan adalah sesuatu yang sangat menyenangkan, dan bukan sesuatu yang pantas ditangisi.
Hari ini juga, aku memandang rumpun mawar putih yang tengah bersemi. Saat aku tengah memandangnya sambil menulis diaryku, aku melihat sepasang sayap berwarna-warni beterbangan di atas rumpun mawarku. Aku marah, langsung kuambil sesuatu yang dapat mengusir sayap-sayap itu, tapi…kuhentikan gerakanku saat melihat sayap-sayap itu memperlakukan bunga-bungaku yang rapuh dengan lembut. Aku tak percaya, sayap-sayap nan indah semakin membuat bunga-bungaku tampak semakin indah dan semakin berwarna-warni. Akhirnya aku biarkan dua makhluk itu menari bersama-sama.
Bunga, itukah yang membuatmu selalu tegar? Karena ada sayap-sayap nan indah yang kan menghiburmu selalu? Sayap-sayap yang menghapus air matamu kala kesedihan dan kesepian melanda jiwamu? Inikah yang membuatmu kuat menghadapi badai kehidupan yang menghampirimu tanpa perasaan? Bunga, apakah aku juga punya sayap-sayap yang menjagaku selalu? Sayap-sayap yang ‘kan menghapus air mataku kala ku menangis, yang akan berkata dengan lembut mengusir rasa takut yang menyergap jiwaku kala malam tiba. Apakah aku juga memilikinya kupu-kupu yang sama dengan yang kau miliki? Salahkah aku jika aku ingin memiliki kupu-kupu yang setia di sampingku? Bunga, kenapa kau tampak tidak peduli dengan diriku? Kenapa kau hanya diam melihat diriku? Apa kau tidak melihat kesedihan yang kualami?
Sambil menulis demikian, tanpa kusadari air mataku meleleh. Aku benar-benar tak mengerti, apa arti kehidupan? Aku tidak mengerti, sama sekali tidak mengerti. Aku yang terlahir sebagai anak orang terkaya di kotaku, justru menangis sedih meratapi nasibku yang malang. Padahal, apa saja yang kuminta selalu dikabulkan oleh orangtuaku, tapi kenapa diriku tidak puas dengan itu semua. Ada satu yang kurang, dan itu tidak dapat dikabulkan oleh kedua orangtuaku, karena aku sama sekali tidak mengerti apa yang paling kuingini di dunia yang fana ini.
Seharusnya dengan kemewahan yang dimiliki keluargaku, aku menjadi orang paling bahagia di dunia. Menjadi seorang gadis yang selalu mengenakan pakaian paling mahal dan menjadi pusat perhatian. Karirku sebagai model terkenal, seharusnya membuatku semakin puas akan diriku. Tapi…hatiku berkata lain, ada yang kurang dalam kehidupanku. Sesuatu yang terlupakan, entah oleh diriku sendiri atau oleh orang-orang disekitarku, orang-orang yang kusayangi dan yang mencintaiku. Tapi, kenapa aku tidak merasa kalau aku dicintai? Kenapa aku tidak merasa kalau keberadaan diriku dihargai? Bukan sebagai model, bukan pula sebagai anak dari pengusaha sukses, George Smith. Tapi sebagai diriku sendiri, sebagai Rose Smith. Apa itu yang kuinginkan? Apa itu keinginanku yang tersimpan di dalam lubuk hatiku? Kubertanya pada diriku sendiri, apa yang paling kuinginkan di dunia? Tiba-tiba saja aku ingin seperti bunga, ada mencintainya dan dicintai, ada yang menghapus air mata, mengajak tertawa dengan tulus, ada yang menggenggam tangan saat aku jatuh, ada yang melindungiku saat ketakutan menyergapku jiwaku. Ya…sama seperti bunga mawar putihku. Dia memiliki kupu-kupu yang menjaganya dan angin lembut yang memperisainya. Aku ingin seperti itu bunga yang tidak pernah sendirian. Akankah keinginanku terwujud? Aku tidak tahu. Yang kutahu, aku ingin setegar bunga dalam menghadapi apa pun.
Akhirnya aku mengetahui apa yang paling kuingini. Aku memandang kamarku yang besar dan mewah. Lemari pakaianku besar dengan kayu paling mahal, ranjangku seperti ranjang putri kerajaan, sangat mewah, jendelaku bergaya Eropa dengan tirai putih menghias setiap sisinya. Tiba-tiba saja aku muak dengan kamarku yang mewah. Kujatuhkan diriku ke atas ranjang, kupeluk bantalku erat-erat, kutelungkupkan kepalaku ke atasnya. Sesaat kemudian, aku menangis sejadi-jadinya.
Semua orang mungkin berpikir aku kurang bersyukur atas apa yang aku terima, jika melihat apa yang kulakukan saat ini, tapi aku merasa aku tak pernah memiliki apa-apa. Aku hampa, kosong, dan sangat kekurangan…ya…sesuatu yang paling penting dalam hidup, justru merupakan sesuatu yang tak pernah kumiliki. Kutatap foto keluargaku, dalam foto itu ada senyum kebahagiaan, ataukah kebanggaan belaka? Kebanggaan terlahir sebagai anak konglomerat sekaligus super model. Aku merasa di foto itu, bukanlah aku. Kalau begitu, siapakah aku yang sebenarnya? Siapa jati diriku yang sesungguhnya? Apa papa dan mamaku dapat menjawabnya? Kuingat-ingat kapan aku merasa dibutuhkan oleh kedua orangtuaku, kupejamkan mataku berusaha mengingat-ingat, tapi aku tercengang, terkejut, aku sama sekali tidak ingat kapan terakhir kali bertemu dan makan malam bersama mereka, yang kuingat adalah selama ini aku selalu bersama dengan para pembantu.
Kutelungkupkan kepalaku, berusaha menyembunyikan air mata yang terus mengalir bahkan semakin deras. Hidupku bagaikan seekor burung yang terkurung dalam sangkar emas, atau bagaikan bunga yang tumbuh dalam vas yang terbuat emas, sangat mahal, tapi juga menyimpan kesepian yang amat sangat. Kemahalan dan kemewahan hanya kenyataan semu, yang membohongi lubuk hati.
Semua yang kuperoleh saat ini, semuanya hanyalah ilusi belaka. Ilusi yang membuatku silap, dan menganggap kalau aku sangatlah berarti. Bunga-bunga di tamanku jauh lebih berarti bagi kupu-kupu yang sangat cantik. Tapi aku, apa aku berarti bagi orangtuaku? Kalau iya, kenapa aku tidak dapat mengingat-ingat apakah aku pernah merayakan natal bersama mereka, merayakan ulang tahunku, atau paling tidak seberapa sering aku makan malam bersama mereka, kapan mereka pernah menanyakan apa aku sudah memiliki pacar atau belum?
Anehnya, semua jawaban atas pertanyaanku adalah tidak sama sekali. Aku belum pernah bersama mereka sejak aku lahir di dunia, bahkan aku lupa seperti apa wajah kedua orangtuaku. Wajah-wajah yang hanya kuingat melalui foto, wajah-wajah yang seharusnya selalu terekam jelas dalam ingatanku dan tersimpan jauh di dalam lubuk hatiku, justru menjadi wajah-wajah yang paling tidak kukenal. Rasanya hatiku sakit, berapapun tetes air mata yang jatuh, tidak ‘kan mampu untuk menyembuhkan sakit hati ini. Ada sesuatu kerinduan dalam hatiku, kerinduan yang selama ini kuanggap sepele. Tapi saat ini, sangat kuinginkan untuk terkabul. Hatiku rindu melihat keluargaku bersama lagi, aku iri dengan bunga yang dapat bersama dengan kupu-kupu yang sangat dia sayangi.
Aku iri dengan teman-teman yang kuanggap tidak tahu jaman, tapi ternyata mereka sangat beruntung karena memiliki sesuatu yang tidak ternilai harganya, sesuatu yang sangat mahal, dan aku sekaya apapun diriku, aku tidak akan mampu membelinya. Kini, bagiku mereka jauh lebih kaya daripada aku.
Aku hanya memiliki kekayaan, yang dapat hilang dalam sekejap, hanya benda duniawi yang menghias hari-hariku. Tak ada tawa, tak ada air mata, yang ada hanyalah kekosongan belaka. Ya…kekosongan yang berisikan kesepian dan khayalan. Khayalan yang selama ini membutakanku. Oh, bunga, kenapa baru sekarang aku menyadari, bahwa aku cacat? Aku memang bertubuh sempurna, tapi jiwaku? Jiwaku hampa, tanpa terisi apa-apa, bahkan kenangan bersama mereka saja aku tak punya. Adakah kupu-kupu yang mau menolongku? Adakah kupu-kupu yang mau menemani hari-hariku selanjutnya yang akan sepi? Sepertinya hanya kesepian dan kesedihan yang selanjutnya akan terus mengisi hari-hariku.
Tanpa terasa hari demi hari pun berlalu menyisakan kebimbangan akan arti kehidupan. Makin lama kurenungkan, makin dalam luka yang kurasakan. Aku menghitung hari, berharap dapat bertemu dengan kedua orangtuaku lagi, aku tahu kalau itu hanya akan menjadi harapan yang bodoh. Tapi…aku tahu bukan itu yang aku inginkan, aku lebih menginginkan mereka mengetahui apa yang aku rasakan saat ini.
Kadang hatiku ingin menjerit, menumpahkan semua keluhan yang terpendam dalam hati. Mungkin dengan begitu hati ini akan lega. Kini, aku benar-benar muak dengan semua kepalsuan yang selama ini aku rasakan. Kepalsuan yang membuatku terbuai oleh segala harta duniawi yang akan hilang dan tidak akan terekam abadi dalam hatiku. Aku rasanya ingin membagi kesedihanku dengan teman terdekatku, tapi aku yakin akan sama saja. Mereka tidak mungkin mengerti apa yang aku rasakan. Bagi mereka pergi ke pesta jauh lebih penting, daripada mendengar ceritaku.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke taman bunga mawar putih. Mungkin dengan pergi ke sana, hatiku akan lebih tenang. Aku pun berganti pakaian, dan mengenakan jaket. Kemudian aku ke luar dari kamar, akhir-akhir ini aku memang hanya diam di dalam kamar. Rasanya hatiku langsung segar begitu ke luar dari rumahku yang megah. Aku pacu sepedaku menuju taman bunga yang terletak tidak jauh dari rumahku.
Begitu tiba di taman, aku langsung memarkir dan mengunci sepedaku agar tidak hilang. Kemudian dengan hati yang riang dan santai seolah tidak ada beban, aku menuju tempat rumpun bunga mawar putih di tanam. Bunga yang sangat aku sukai itu ditanam di dekat danau, makanya nama danau itu menjadi danau mawar putih.
Saat tengah asyik berjalan, tiba-tiba ada orang menabrakku. Spontan aku langsung mengomelinya, dan aku melihat dompetku sudah berpindah tangan, segera aku menghajar pemuda itu dengan karate yang memang sudah aku kuasai sejak aku masih berusia 5 tahun.
Kelemahanku adalah aku tidak bisa mengontrol emosiku. Setiap kali ada orang yang menggangguku atau orang yang tidak aku sukai, maka aku pasti akan mencelakainya. Mungkin karena sikapku inilah aku jadi kesepian.
“Lho, Yuri? Kamu Yuri, ‘kan? Kok, tumben kamu ke taman bunga?” sapa Hikaru, teman sekelasku, dan merupakan salah satu dari orang yang pernah aku celakai.
Mendengar sapaannya, aku menjadi heran. Bukankah seharusnya dia membenciku, karena aku membuat kakinya pincang? Tapi, kenapa dia justru menyapaku dengan ramah?
“Eh, I, iya. Aku lagi bosan di rumah, jadi aku jalan-jalan ke taman. Kamu sendiri?”
“Ya, aku juga bosan di rumah. Oh ya, kalau jalan-jalan sendiri rasanya kurang menyenangkan, bagaimana kalau kita jalan bersama. Kamu mau, ‘kan, Yuri?”
Aku terperangah mendengar kata-kata Hikaru. Ya, Tuhan, orang yang telah aku celakai seperti ini, masih mau menyapaku, bahkan menemaniku. Apa aku pantas menerima kebaikan hatinya? Saat aku bimbang akan menjawab apa, dia tiba-tiba mengatakan sesuatu.
“Yuri, aku ingin bisa bicara denganmu. Tapi, kita bicara sambil jalan saja, ya” ajaknya sedikit memaksa. Aku pun mengiyakannya.
“Kamu sebenarnya ingin bicara apa denganku, Hikaru” tanyaku bingung dan takut.
“Yuri, sebenarnya kamu adalah orang yang paling aku benci di dunia ini, tapi aku tidak tahu kenapa, aku tidak pernah bisa membalas dirimu dengan perlakuan yang sama seperti yang kamu lakukan padaku”
“Aku memang pantas kamu benci. Aku juga tidak tahu kenapa aku begitu tega melakukan itu padamu, Hikaru. Tapi kenapa kamu tiba-tiba mau menemaniku jalan-jalan di taman?”
“Ya, aku memang membencimu, sangat membencimu. Tapi bukankah kebencian adalah suatu perasaan yang tidak pernah abadi, kita bisa saja mengatakan aku membencimu untuk selamanya. Namun, kalau kita jujur pada hati kita, tidakkah sebenarnya perasaan benci itu luluh? Apa tahu itu, Yuri?’
“A, aku tidak mengerti maksudmu, Hikaru”
“Artinya kebencian yang ada dalam hatiku luluh, dia sudah mencair, dan menjadi cinta. Kamu tahu kenapa aku bisa mengubah kebencianku padamu menjadi kasih sayang atau persahabatan?”
Aku menggeleng. “Aku tidak tahu, Hikaru”
“Karena kebencian tidak pernah memiliki kekuatan sekuat rasa cinta. Pada akhirnya dia akan hilang dan tidak berbekas di dalam hati kita, atau berganti menjadi rasa cinta yang abadi. Kamu mau, ‘kan menjadi temanku?”
Tanpa sadar air mataku mengalir. Aku yang selama ini telah berbuat jahat padanya, dibalas dengan cara seperti ini.
“Yuri, kamu menangis, ya? Maaf, kalau aku menyinggung perasaanmu. Tapi itulah yang ingin aku katakan padamu. Nah, sekarang, ayo kita jalan ke tepi danau. Di sana pemandangannya indah”
Aku mengangguk tanda setuju. Hikaru, andai kamu tahu, bahwa kamu satu-satunya orang yang membuat hidupku tidak sepi lagi.
“Hikaru, aku merasa tidak pantas menerima semua kebaikanmu ini,” ujarku sambil menatapnya. Saat itu, aku benar-benar ingin menghilang dari hadapannya.
“Yuri, kamu bicara apa sih? Kamu tahu kupu-kupu yang menemani bunga tidak akan pernah bilang hal bodoh seperti itu. Kupu-kupu akan selalu menemani bunga, meski bunga itu telah menyakitinya. Karena kupu-kupu tahu bahwa bunga itu kesepian, dan hatinya terluka. Aku ingin seperti kupu-kupu yang memancarkan kasih untuk bunga, agar bunga yang terasing itu dapat tersenyum lagi”
“Jangan bilang kalau bunga yang kamu maksud itu adalah aku?”
“Memang itu adalah kamu. Setelah aku pikir-pikir dan mengamati dirimu, aku tahu kalau kamu waktu itu menyakitiku adalah agar ada orang yang memperhatikanmu, entah kamu menyadarinya atau tidak”
“Hikaru, kamu mau, ‘kan menjadi temanku?” tanyaku dengan cemas. Melihat dia mengangguk, aku menjadi begitu senang.
Akhirnya aku menjadi seperti bunga yang tidak ‘kan pernah kesepian lagi, karena sama seperti bunga, aku juga memiliki kupu-kupu. Kupu-kupu yang kan selalu menemani hari-hariku yang sepi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar